Selasa, 13 November 2012

Laporan Pendahuluan Askep Gerontik


Laporan Pendahuluan Askep Depresi dan Kehilangan Pada Lansia


Proses menua sebenarnya berlangsung sejak pembuahan sampai saat kematian. Tanda-tanda proses ini menjadi semakin jelas sejak usia 30 tahun, dan diatas 60 tahun mulai menunjukkan masalah, antara lain dengan gangguan fisik yang berlanjut dengan gangguan pergaulan maupun kejiwaan.
Penyakit menjadi salah satu alasan pada lanjut usia untuk menjadi gangguan kejiwaan , tidak sedikit klien tidak tidur, merasa stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan , ketakutan atau ke khawatiran, dan rasa kecemasan .
            Terkadang terbayang akan kematian juga sering menghantui mereka, berpikir tentang keluarga yang akan ditinggalkan membuat beban stress semakin berat. Ataupun kehilangan pasangan saat usia lanjut dapat menimbulkan strees dan membuat lansia tersebut menjadi depresi dan kehilangan, terkadang hal tersebut jika tidak ditangani secara cepat makan dapat berdampak lansia tersebut menjadi malas untuk melanjutkan hidupnya.
            untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada lansia dengan depresi dan kehilangan.
1.    Definisi
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Depresi adalah suatu jenis alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik : rasa susah, murung, sedih, putus asa dan tidak bahagia, serta komponen somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi sedikit menurun.
Depresi disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik, faktor konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor psikobiologi, faktor neurologik, faktor biokimia dalam tubuh, faktor keseimbangan elektrolit dan sebagai­nya.
Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
2.    Fase berduka
Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
a.    Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak, saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.
b.    Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
c.    Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan anak saya”.
d.    Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido manurun.
e.    Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini tampak manis “ atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
B.   Konsep Askep
1.    Pengkajian
a. Gangguan alam perasaan: depresi
1). Data subyektif:
Tidak mampu mengutarakan pendapat dan malas berbicara.Sering mengemukakan keluhan somatik. Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi, tidak berarti, tidak ada tujuan hidup, merasa putus asa dan cenderung bunuh diri.
2). Data obyektif:
Gerakan tubuh yang terhambat, tubuh yang melengkung dan bila duduk dengan sikap yang merosot, ekspresi wajah murung, gaya jalan yang lambat dengan lang­kah yang diseret.Kadang‑kadang dapat terjadi stupor. Pasien tampak malas, lelah, tidak ada nafsu makan, sukar tidur dan sering me­nangis.Proses berpikir terlambat, seolah‑olah pikirannya kosong, konsentrasi tergang­gu, tidak mempunyai minat, tidak dapat berpikir, tidak mempunyai daya khayal Pada pasien psikosa depresif terdapat perasaan bersalah yang mendalam, tidak masuk akal (irasional), waham dosa, depersonalisasi dan halusinasi.Kadang‑kadang pasien suka menunjukkan sikap bermusuhan (hostility), mudah tersinggung (irritable) dan tidak suka diganggu.
b.    Koping maladaptif
1)    DS   : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan.
2)    DO   : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls.
2.    Diagnose keperawatan jiwa
a.    Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
b.    Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
c.    Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
3.    Intervensi
a.    Diagnosa keperawatan : Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah : kronis
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
Tujuan Khusus:
1)    Klien dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2)    Klien dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3)    Klien menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4)    Klien dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5)    Klien mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan orang lain.
                                     Rencana tindakan keperawatan :
1)    Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
1)    Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
2)    Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara emosi.
3)    Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
4)    Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
5)    Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang
R/. Mengikut sertakan klien dalam aktivitas sehari-hari yang dapat
meningkatkan harga diri klien.
b.    Gangguan konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1.    Klien merasa harga dirinya naik.
2.    Klien mengunakan koping yang adaptif.
3.    Klien menyadari dapat mengontrol perasaannya.
                         Intervensi :
1.    Merespon kesadaran diri dengan cara :
Membina hubungan saling percaya dan keterbukaan.
Bekerja dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
Memaksimalkan partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/. Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat – klien.
2.    Menyelidiki diri dengan cara :
Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
Membantu klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui keterbukaan.
Berespon secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
R/. klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap dirinya sendiri.
3.    Mengevaluasi diri dengan cara :
Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif terhadap masalahnya.
R/. Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara konstruktif.
4.    Membuat perencanaan yang realistik.
Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang realistik.
R/. Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan cara menentukan perencanaan yang realistik.
c.    Defisit perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.
Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan diri secara optimal.
Tujuan khusus :
1.    Klien dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2.    Klien dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3.    Klien dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4.    Klien dapat merawat kukunya sendiri.
Intervensi :
1.    Libatkan klien untuk makan bersama diruang makan.
R/. Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.
2.    Menganjurkan klien untuk mandi.
R/. Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat melakukan sendiri.
3.    Menganjurkan pasien untuk mencuci baju.
R/. Diharapkan klien mandiri.
4.    Membantu dan menganjurkan klien untuk menghias diri.
R/. Diharapkan klien mandiri.
5.    Membantu klien untuk merawat rambut dan gigi.
R/. Diharapkan klien mandiri
R/. Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien


















Daftar Pustaka
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC, 1995
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000