Laporan Pendahuluan Askep Depresi dan Kehilangan Pada Lansia
Proses menua
sebenarnya berlangsung sejak pembuahan sampai saat kematian. Tanda-tanda proses
ini menjadi semakin jelas sejak usia 30 tahun, dan diatas 60 tahun mulai
menunjukkan masalah, antara lain dengan gangguan fisik yang berlanjut dengan
gangguan pergaulan maupun kejiwaan.
Penyakit menjadi salah satu alasan
pada lanjut usia untuk menjadi gangguan kejiwaan , tidak sedikit klien tidak
tidur, merasa stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah
sehingga menimbulkan kekecewaan , ketakutan atau ke khawatiran, dan rasa
kecemasan .
Terkadang
terbayang akan kematian juga sering menghantui mereka, berpikir tentang
keluarga yang akan ditinggalkan membuat beban stress semakin berat. Ataupun
kehilangan pasangan saat usia lanjut dapat menimbulkan strees dan membuat
lansia tersebut menjadi depresi dan kehilangan, terkadang hal tersebut jika
tidak ditangani secara cepat makan dapat berdampak lansia tersebut menjadi
malas untuk melanjutkan hidupnya.
untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada lansia dengan depresi dan kehilangan.
untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada lansia dengan depresi dan kehilangan.
1.
Definisi
Kehilangan adalah
suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan
Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh
setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam
bentuk yang berbeda.
Depresi
adalah suatu jenis alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik :
rasa susah, murung, sedih, putus asa dan tidak bahagia, serta komponen somatik:
anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut
nadi sedikit menurun.
Depresi
disebabkan oleh banyak faktor antara lain : faktor heriditer dan genetik,
faktor konstitusi, faktor kepribadian pramorbid, faktor fisik, faktor
psikobiologi, faktor neurologik, faktor biokimia dalam tubuh, faktor
keseimbangan elektrolit dan sebagainya.
Depresi
merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan
adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan
faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang
bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas
dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
2. Fase berduka
Elizabeth Kubler-rose,1969.h.51, membagi respon berduka
dalam lima fase, yaitu : pengikaran, marah, tawar-menawar, depresi dan
penerimaan.
a.
Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami
kehilangan adalah syok, tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa
kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “ Tidak, saya tidak
percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau
keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi
tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini
adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir
dalam beberapa menit atau beberapa tahun.
b.
Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu
kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan Individu menunjukkan rasa marah
yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau pada dirinya
sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar, menolak
pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon fisik yang sering
terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal.
c.
Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa
marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan
memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata “
kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering berdoa “. Apabila
proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja
yang sakit, bukan anak saya”.
d.
Fase Depresi
Individu pada fase ini sering
menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien sangat penurut, tidak mau
bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh
diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah
tidur, letih, dorongan libido manurun.
e.
Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi
perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang
hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima kehilangan
yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang hilang mulai dilepaskan
dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang baru. Fase ini
biasanya dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju
yang ini tampak manis “ atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini
dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka
serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak dapat
menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengatasi
perasaan kehilangan selanjutnya.
B. Konsep Askep
1. Pengkajian
a. Gangguan
alam perasaan: depresi
1). Data subyektif:
Tidak mampu
mengutarakan pendapat dan malas berbicara.Sering mengemukakan keluhan somatik.
Merasa dirinya sudah tidak berguna lagi, tidak berarti, tidak ada tujuan hidup,
merasa putus asa dan cenderung bunuh diri.
2). Data obyektif:
Gerakan tubuh yang terhambat,
tubuh yang melengkung dan bila duduk dengan sikap yang merosot, ekspresi wajah
murung, gaya jalan yang lambat dengan langkah yang diseret.Kadang‑kadang dapat
terjadi stupor. Pasien tampak malas, lelah, tidak ada nafsu makan, sukar tidur
dan sering menangis.Proses berpikir terlambat, seolah‑olah pikirannya kosong,
konsentrasi terganggu, tidak mempunyai minat, tidak dapat berpikir, tidak
mempunyai daya khayal Pada pasien psikosa depresif terdapat perasaan bersalah
yang mendalam, tidak masuk akal (irasional), waham dosa, depersonalisasi dan
halusinasi.Kadang‑kadang pasien suka menunjukkan sikap bermusuhan (hostility),
mudah tersinggung (irritable) dan tidak suka diganggu.
b. Koping maladaptif
1) DS :
menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan.
2) DO :
nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls.
2. Diagnose keperawatan jiwa
a. Isolasi
sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah / kronis.
b. Gangguan
konsep diri : harga diri rendah kronis berhubungan dengan koping individu tak
efektif sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
c. Defisit
perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas.
3. Intervensi
a. Diagnosa
keperawatan : Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah : kronis
Tujuan Umum : Klien dapat berinteraksi dengan orang lain.
Tujuan Khusus:
1) Klien
dapat membina hubungan saling perbaya dengan perawat.
2) Klien
dapat memahami penyebab dari harga diri : rendah.
3) Klien
menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
4) Klien
dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, jujur dan terbuka.
5) Klien
mampu mengontrol tingkah laku dan menunjukkan perbaikan komunikasi dengan orang
lain.
Rencana tindakan keperawatan :
1) Berikan
motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan
klien.
1) Jelaskan
penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan
klien dapat beradaptasi dengan perasaannya.
2) Dengarkan
klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa
peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak terlibat secara emosi.
3) Berikan
motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya.
R/ Meningkatkan harga diri.
4) Beri
dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih
keras lagi.
5) Ikut
sertakan klien dengan aktifitas yang
R/. Mengikut sertakan klien dalam aktivitas
sehari-hari yang dapat
meningkatkan harga diri klien.
b. Gangguan
konsep diri; harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tak efektif
sekunder terhadap respon kehilangan pasangan.
Tujuan :
1. Klien
merasa harga dirinya naik.
2. Klien
mengunakan koping yang adaptif.
3. Klien
menyadari dapat mengontrol perasaannya.
Intervensi :
1. Merespon
kesadaran diri dengan cara :
Membina
hubungan saling percaya dan keterbukaan.
Bekerja
dengan klien pada tingkat kekuatan ego yang dimilikinya.
Memaksimalkan
partisipasi klien dalam hubungan terapeutik.
R/.
Kesadaran diri sangat diperlukan dalam membina hubungan terapeutik perawat –
klien.
2. Menyelidiki
diri dengan cara :
Membantu klien menerima perasaan dan pikirannya.
Membantu
klien menjelaskan konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain melalui
keterbukaan.
Berespon
secara empati dan menekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada klien.
R/.
klien yang dapat memahami perasaannya memudahkan dalam penerimaan terhadap
dirinya sendiri.
3. Mengevaluasi
diri dengan cara :
Membantu klien menerima perasaan dan pikiran.
Mengeksplorasi respon koping adaptif dan mal adaptif
terhadap masalahnya.
R/.
Respon koping adaptif sangat dibutuhkan dalam penyelesaian masalah secara
konstruktif.
4. Membuat
perencanaan yang realistik.
Membantu klien mengidentifikasi alternatif pemecahan
masalah.
Membantu klien menkonseptualisasikan tujuan yang
realistik.
R/.
Klien membutuhkan bantuan perawat untuk mengatasi permasalahannya dengan cara
menentukan perencanaan yang realistik.
c. Defisit
perawatan diri berhubungan dengan intolenransi aktivitas.
Tujuan Umum : Klien mampu melakukan perawatan
diri secara optimal.
Tujuan khusus :
1. Klien
dapat mandi sendiri tanpa paksaan.
2. Klien
dapat berpakaian sendiri dengan rapi dan bersih.
3. Klien
dapat menyikat giginya sendiri dengan bersih.
4. Klien
dapat merawat kukunya sendiri.
Intervensi
:
1. Libatkan
klien untuk makan bersama diruang makan.
R/.
Sosialisasi bagi klien sangat diperlukan dalam proses menyembuhkannya.
2. Menganjurkan
klien untuk mandi.
R/.
Pengertian yang baik dapat membantu klien dapat mengerti dan diharapkan dapat
melakukan sendiri.
3. Menganjurkan
pasien untuk mencuci baju.
R/.
Diharapkan klien mandiri.
4. Membantu
dan menganjurkan klien untuk menghias diri.
R/.
Diharapkan klien mandiri.
5. Membantu
klien untuk merawat rambut dan gigi.
R/.
Diharapkan klien mandiri
R/.
Terapi kelompok membantu klien agar dapat bersosialisasi dengan klien
Daftar Pustaka
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan
Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I,
Jakarta : EGC, 1999
Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta
: EGC, 1995
Tim Direktorat Keswa, Standar
Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000